Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Belenggu

Belenggu

Belenggu
Kusandarkan tubuhku di kursi rotan. Kursi itu berderit seperti sudah terlalu ringkih menampung berat badanku yang kelimpungan. Dan di wajah, butiran-butiran keringat bercampur debu kemarau masih lengket tersisa. Hari itu, pikiranku terasa lelah. Bahkan benar-benar lelah.
 
Sejak di sekolah tadi, aku sama sekali tak bisa berkonsentrasi saat mengajar. Di dalam kelas aku lebih banyak terdiam. Murid-murid yang biasanya selalu menanti cerita-ceritaku terpaksa harus menelan kekecewaan. Sebab tadi aku hanya memerintahkan mereka untuk menyelesaikan latihan-latihan soal. Apalagi ini sudah menjelang ujian. Selebihnya, aku murung saja di belakang meja.
 
Pikiranku tersita oleh satu persoalan yang membuatku harus memilih antara tetap mengajar atau keluar. Dua pilihan itu sama beratnya bagiku untuk diambil. Lima belas tahun aku mengajar di sekolah itu tentu bukan waktu yang singkat. Bahkan aku berjanji akan tetap membantu mengajar di sana meski sampai tua usiaku.

Tugas sebagai seorang guru sepertinya sudah mendarah daging di tubuhku. Aku bahkan tak pernah mempersoalkan gaji mengajarku yang tak seberapa. Sedari awal, aku sudah meyakinkan diri bahwa aku mengajar bukan untuk sebuah pekerjaan. Aku mengajar sebagai bentuk kerinduan orangtua akan kehadiran anak-anaknya. Maklum, hingga setua ini aku masih belum dikaruniai seorangpun anak. Maka saat mengajar, aku merasa seperti orangtua yang sedang mengunjungi anak-anaknya.

Terus terang ada rasa bangga saat aku melihat murid-murid yang datang ke sekolah begitu antusias saat mengikuti pelajaranku. Dalam mengajar, aku memang memiliki cara sendiri yang berbeda dari guru yang lain. Aku selalu menyisipkan cerita-cerita menarik pada saat menyampaikan materi pelajaran pada mereka. Maka dapat kumaklumi kekecewaan murid-muridku siang tadi saat mereka tak mendapatkan cerita dan hanya kuperintahkan mengerjakan latihan soal sejak awal pelajaran hingga waktu mengajarku habis.

“Kenapa tidak cerita saja sih, Pak!” seru mereka.

“Sebentar lagi ujian. Kalian harus fokus dulu pada ujian. Makanya dari sekarang kerjakan dulu soal-soal di buku itu sebagai latihan,” jawabku.

“Masak dari kemarin latihan terus,” mereka menggerutu.

Aku hanya diam saja dan pura-pura tidak mendengar ucapan mereka. Apalagi pikiranku benar-benar suntuk. Tak bisa berpikir jernih. Bahkan kedatanganku ke dalam kelas seakan tanpa semangat sama sekali. Itu semua jelas bukan tanpa sebab. Kata-kata Pak Heru tadi pagi seakan melucuti semua semangat mengajarku yang sudah kupertahankan selama lima belas tahun yang lampau.

“Kalau Pak Kussno tidak bisa bekerjasama dengan kami, berarti kita sudah tidak sevisi lagi dalam menjalankan tugas kita di sekolah ini. Sayangnya, sayalah yang punya wewenang penuh di sini. Coba Bapak pikirkan sekali lagi.”

 “Saya tetap tidak setuju Pak Kepala Sekolah. Kalau kita memberikan bocoran jawaban kepada murid-murid, itu sama saja dengan mengajari mereka berbuat tidak jujur. Apa jadinya mereka nanti. Coba Pak Kepala Sekolah pikir sekali lagi. Kalau sejak sekarang murid-murid kita diajari berbuat curang, nanti mereka akan terbiasa melakukan hal yang sama. Saya tak dapat berpikir bagaimana jika diantara mereka nanti ada yang jadi pejabat,” kataku dalam rapat tertutup dengan kepala sekolah dan beberapa guru lainnya pagi tadi.

“Pak Kussno terlalu jauh berpikir. Lagi pula ini bukan masalah jujur atau tidak, Pak Kussno. Ini soal reputasi sekolah kita dan kepercayaan masyarakat. Kalau sampai anak didik di sekolah ini tidak mencapai angka kelulusan yang sempurna, siapa lagi yang percaya pada sekolah kita. Tidak ada lagi yang mau menyekolahkan anaknya di sini. Apalagi persaingan antar sekolah sekarang semakin ketat. Sudahlah, Pak. Kita tidak usah mempersulit murid-murid untuk lulus,” jawab Pak Heru.

“Tetapi kita bisa memberikan bimbingan dan latihan pada mereka, Pak,” kata saya.

“Memang bisa. Tapi hasilnya tetap diragukan. Sebab latihan soal yang dikerjakan murid tidak akan sama dengan soal-soal yang diujikan nanti. Dan itu buang-buang waktu. Saya tidak suka jika waktu kita terbuang percuma untuk sebuah kegiatan yang sebenarnya kita memiliki alternatif lain yang jauh lebih efektif dan mudah.”

“Salah, Pak Kepala. Jika kita meluangkan waktu untuk melatih murid, itu sama sekali bukan kesia-siaan. Tidak ada yang percuma kalau kita melakukan yang terbaik untuk murid-murid kita.”

“Jadi kesimpulannya, Pak Kussno tetap tidak setuju dengan rencana kita?”

“Benar, Pak Kepala. Saya tidak setuju,” jawabku tegas.

“Berarti kita tidak sevisi lagi. Sebuah pekerjaan tidak akan berjalan baik jika antara satu karyawan dengan karyawan lain, apalagi dengan kepala karyawannya tidak lagi satu visi. Kesimpulannya adalah, agar pekerjaan tetap berjalan dengan baik maka karyawan yang tidak sevisi itu harus memilih: tetap bekerja atau keluar.”

Aku lihat Pak Heru benar-benar serius dengan ucapannya. Sebenarnya bukan kali ini saja aku berbeda pendapat hingga bersitegang dengannya. Banyak kebijakan Pak Heru yang aku tentang karena memang tidak sesuai dengan reputasinya sebagai seorang guru dan Kepala Sekolah. Tapi tragisnya aku selalu kalah. Dia yang punya wewenang di sini. Sedangkan guru-guru yang lain selalu membela kebijakannya walaupun banyak yang menyimpang dari peraturan.

***

Hari itu adalah hari pertama murid-muridku menjalani ujian nasional. Aku berangkat lebih pagi dari biasanya karena di hari pertama itu aku mendapatkan tugas untuk mengawasi mereka dalam mengerjakan soal ujian. Namun yang terjadi sungguh di luar dugaan. Saat aku sampai di sekolah dan melihat pengumuman tentang siapa saja yang bertugas mengawasi ujian, ternyata namaku tak ada di sana. Aku perhatikan sekali lagi daftar nama guru yang bertugas mengawasi ujian hari itu. Namaku tak tertera. Saat kutanyakan pada petugas tata usaha, kenapa tidak ada namaku di sana, dia hanya menjawab,

“Saya tidak tahu, Pak. Semalam Pak Heru hanya menyuruh saya untuk menulis ulang nama-nama pengawas ujian. Saya juga heran kenapa nama Pak Kussno tidak ada. Tapi saya tidak berani bertanya, Pak. Pak Kussno kan tahu sendiri bagaimana Pak Heru. Perintahnya tak bisa dibantah.”

Tubuhku lemas. Perlahan aku keluar dari ruang tata usaha. Sudah jelas sekarang bahwa Pak Heru diam-diam telah memecatku secara sepihak meski sebelumnya dia masih sempat memberi tawaran; tetap mengajar namun menyetujui kebijakannya memberikan bocoran soal atau keluar karena aku sudah dianggapnya tidak sevisi lagi dengannya.

Di luar, terlihat beberapa murid mulai berdatangan. Mereka tampak bersemangat sekali. Sedikitpun mereka tidak menampakkan rasa khawatir sebagaimana biasanya anak-anak yang mau ujian. Melihat mereka, aku paksakan untuk tetap tersenyum.

“Selama pagi, Pak Kussno,” sapa mereka dengan wajah riang. Aku membalas sapaan mereka dengan datar. Agar mereka tak curiga saat aku mengambil sepeda untuk pulang, aku pura-pura bertanya tentang kesiapan mereka menghadapi ujian.

“Tenang Pak. Semalam Pak Heru datang ke rumah kami dan kami sudah diberitahu kunci jawaban soalnya. Kami sudah menghapal semua kunci jawaban untuk soal-soal hari ini,” jawab mereka setengah berbisik.

Ada yang terasa remuk di dadaku saat mendengar jawaban mereka. Pak Heru benar-benar hanya mementingkan reputasi namanya meski harus mengorbankan kejujuran.

“Kenapa kau begitu jujur mengatakan hal itu kepadaku, Nak? Apa kau tidak takut?”

“Kenapa harus takut, Pak. Bukankah Pak Kussno sendiri yang mengatakan pada kami agar kami selalu berkata jujur. Kapan saja. Dimana saja. Tanpa rasa takut.”

Aku menarik nafas dalam-dalam. Aku tidak tahu apakah harus bersedih karena dipecat dari sekolah. Atau sebaliknya merasa bangga karena kejujuran yang selalu kuajarkan selama ini telah mereka perlihatkan dengan nyata meskipun di balik kata-kata jujur mereka tetap tersirat sesuatu yang berlainan dengan yang aku harapkan.

Kukayuh sepeda tuaku perlahan-lahan. Sengaja aku tidak langsung pulang ke rumah agar istriku tak banyak bertanya; kenapa aku pulang lebih cepat dari biasanya. Aku mengarahkan sepedaku ke arah pasar dan menghabiskan waktu hingga tengah hari di warung kopi. Menjelang tengah hari aku pulang. 

“Bu, tolong buatkan secangkir kopi,” pintaku sambil menghempaskan diri di atas kursi rotan.

“Kopi!?”

“Ya. Tapi jangan terlalu banyak gulanya.”

“Tumben mau minum kopi. Bukannya Bapak sudah tiga tahun ini berhenti ngopi?”

“Nggak apa-apa. Hanya sekali ini saja,” ucapku. Tidak lama kemudian istriku datang membawa segelas kopi yang kupesan. Dia ikut duduk di sebelahku. Dan seperti biasanya, dia selalu memijit lenganku saat aku pulang mengajar. Aku menikmati kebiasaannya yang tak pernah absen dia lakukan.

“Bagaimana, Pak. Tadi soal-soal ujianya mudah tidak? Kira-kira murid-murid Bapak bisa nggak mengerjakannya?”

Aku terhenyak mendengar pertanyaan istriku. Entah bagaimana aku menjawabnya. Haruskah aku jujur hingga membuatnya bersedih, atau malah berbohong agar dia tetap percaya kalau semuanya berjalan baik-baik saja. Tiba-tiba aku teringat kembali apa yang dikatakan Pak Heru, “Ini bukan soal jujur atau tidak. Tapi bagaimana menjaga reputasi.”

Tapi untuk sebuah nama baik dan reputasi, apakah semua seseorang harus mengorbankan kejujuran? “Ah, lebih baik aku jawab saja dengan jujur. Tidak usah takut,” bisikku dalam hati.

Matahari siang terik membakar. Dan suara adzan dhuhur terdengar syahdu di pendengaran.

Latar UAD-5-2014.

0 komentar:

Posting Komentar