Tiba-tiba
masjid kami jadi riuh. Bukan oleh suara dzikir yang biasa kami lantunkan. Melainkan oleh
gonggongan suara anjing yang begitu memekakkan. Entah dari mana anjing-anjing
itu berasal dan bagaimana mereka bisa dengan mudah memasuki masjid kami yang biasanya
rapat terkunci.
“Coba
kau ingat
lagi, Marlam.
Mungkin semalam kau lupa mengunci pintu masjid sehabis kita melaksanakan shalat
isya,” tegur ketua takmir dengan wajah gusar.
“Tidak
mungkin. Seandainya saya lupa mengunci pintu masjid, kunci-kunci ini tidak
mungkin saya bawa. Pasti kunci-kunci ini masih tergantung di pintu,” jawab Marlam
sambil menunjukkan kunci-kunci itu pada kami.
Matahari
hampir terbit. Orang-orang yang sedianya mau melakukan shalat Shubuh berjamaah
hanya berdiri di luar pagar. Mereka sama-sama memandang ke dalam masjid.
Kemudian
pandangan kami terarah ke atas mimbar. Seekor anjing berbulu
hitam dan bertubuh besar sedang duduk dengan gagahnya di atas sana. Ia melolong-lolong sambil menjulurkan lidahnya dengan air liur yang menetes ke atas lantai.
Aneh
sekali. Seketika anjing-anjing lain yang berada di depannya ikut melolong bagaikan suara
koor yang sangat panjang. Kami semua bergidik melihat pemandangan yang baru
kali ini kami saksikan.
“Meskipun
kita usir anjing-anjing itu
sekarang,
tetap saja kita tidak bisa melakukan shalat di sini. Semua tempat di masjid ini
sepertinya sudah najis. Jadi sebaiknya kita shalat sendiri-sendiri saja di rumah. Nanti jam tujuh kita
kembali berkumpul. Kita usir anjing-anjing itu dan lalu kita sucikan masjid
kita ini bersama-sama.” Ketua takmir memberikan instruksi.
Rupanya, kabar mengenai serbuan
anjing-anjing ke dalam masjid kami sudah menyebar dengan cepat. Saat kami
kembali untuk mengusirnya,
sudah
banyak orang berkerumun di sekitar masjid.
“Sepertinya itu bukan anjing sungguhan.”
Sebagian orang mulai berkomentar.
“Jadi menurut kalian itu makhluk jadi-jadian?” sela
ketua takmir masjid kami dengan ekspresi wajah setengah tidak percaya.
“Bisa jadi, Pak.”
Kami, para warga yang setiap saat rajin melakukan
shalat wajib berjamaah menarik nafas panjang. Sungguh sulit menerima kenyataan
kalau masjid yang kami jaga kesuciannya tiba-tiba disatroni gerombolan anjing. Apalagi
kalau sampai benar mereka adalah anjing jadi-jadian. Mungkin sebelumnya mereka
manusia biasa yang kemudian berubah menjadi anjing. Entahlah.
“Kita harus cari tahu siapa dalang
di balik semua ini.”
“Kalian semua tenang dulu,” kata ketua takmir masjid
kami. “Tugas kita yang terpenting sekarang adalah mengusir anjing-anjing itu dari dalam masjid.”
“Percuma kita usir anjing-anjing itu kalau ternyata
mereka adalah makhluk jadi-jadian. Mereka bisa lebih galak dari anjing sungguhan.”
Akhirnya
kami semua kembali pulang. Hingga
dua
hari berikutnya, tak
satupun diantara kami yang benar-benar berani memasuki masjid. Sementara tingkah
anjing-anjing itu makin menjadi-jadi. Mereka melolong-lolong dengan suara yang
memekakkan telinga siapa saja yang mendengarnya.
Tak hanya itu, anjing-anjing yang menguasai masjid
kami makin berulah. Mereka sudah berani berkeliaran hingga ke luar masjid.
Bahkan tanpa rasa takut sedikitpun mereka mendatangi rumah-rumah penduduk. Meski
tak sampai menggigit, ekspresi wajahnya yang terlihat kaku, sangar dan galak tetap
membuat kami merasa ngeri bila berdekatan dengan mereka.
***
Dan
ternyata dugaan kami benar. Anjing itu memang makhluk jadi-jadian. Mereka
sebenarnya manusia biasa yang bisa berubah menjadi anjing. Entah apa yang terjadi dengan mereka dan mengapa mereka
menguasai masjid kami dengan merubah diri mereka menjadi makhluk galak seperti
itu?
Meskipun
sekarang mereka lebih banyak menampakkan diri sebagai manusia biasa, kami tetap
tidak bisa bergaul akrab dengan mereka. Namun setidaknya, dengan
menampakkan diri sebagai manusia, pelan-pelan kami bisa mendatangi masjid lagi. Melaksanakan ibadah bersama
mereka.
Mendengarkan semua yang mereka ujarkan pada kami.
Tapi
mereka juga masih sering
mengeram sambil memelototkan kedua matanya yang merah bila kami melakukan hal yang tidak mereka sukai. Cara mereka menatap kami
seakan menampakkan ketidaksenangan. Persis seekor anjing yang selalu curiga
saat ada orang asing mendatangi rumah tuannya.
Kami tertekan? Pasti. Tapi kami tak memiliki keberanian
untuk melawan keadaan itu.
Walau pada akhirnya kami dapat berhubungan baik dengan
mereka, namun tetap ada sesuatu yang terasa hilang dalam diri kami.
Kami tak bisa lagi merasakan
keindahan berdzikir
bersama di masjid itu sebagaimana
dulu sering kami lakukan. Kebiasaan kami membaca shalawat perlahan-lahan juga
sudah kami tinggalkan.
“Itu
tidak perlu. Lebih baik kalian dengarkan saja apa yang kami ajarkan pada kalian,”
demikian kata mereka.
Sampai waktu yang kami takutkan itu pun tiba. Apa yang
pernah dikatakan oleh ketua takmir masjid kami beberapa waktu lalu sepertinya akan menjadi kenyataan;
“Pelan tapi pasti. Kita semua para warga akan menjadi
anjing jadi-jadian seperti mereka.”
Dan
memang seperti itulah yang kami rasakan. Tanpa kami sadari, oleh kata-kata mereka kami telah dirubah menjadi manusia bertabiat
anjing. Kami jadi gampang
curiga, mudah
marah
dan bisa merasakan adanya naluri kebuasan yang
bersemayam dalam otak kami.
Celakanya
lagi, kami sepertinya tidak bisa lagi berpikir jernih dan dewasa. Setiap kali
melihat ada orang-orang yang berbeda cara pandang dan perbuatannya dengan kami,
kami seperti mendengar ada teriakan keras dalam diri kami yang memerintahkan
kami untuk menyerang dan mencabik-cabik mereka. Memusnahkan mereka dengan segenap
kemarahan dan rasa buas yang aneh.
2014.
0 komentar:
Posting Komentar