Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Anjing Itu Menyerbu Masjid Kami

Anjing Itu Menyerbu Masjid Kami



Tiba-tiba masjid kami jadi riuh. Bukan oleh suara dzikir yang biasa kami lantunkan. Melainkan oleh gonggongan suara anjing yang begitu memekakkan. Entah dari mana anjing-anjing itu berasal dan bagaimana mereka bisa dengan mudah memasuki masjid kami yang biasanya rapat terkunci.
“Coba kau ingat lagi, Marlam. Mungkin semalam kau lupa mengunci pintu masjid sehabis kita melaksanakan shalat isya,” tegur ketua takmir dengan wajah gusar.
“Tidak mungkin. Seandainya saya lupa mengunci pintu masjid, kunci-kunci ini tidak mungkin saya bawa. Pasti kunci-kunci ini masih tergantung di pintu,” jawab Marlam sambil menunjukkan kunci-kunci itu pada kami.
Matahari hampir terbit. Orang-orang yang sedianya mau melakukan shalat Shubuh berjamaah hanya berdiri di luar pagar. Mereka sama-sama memandang ke dalam masjid.
Kemudian pandangan kami terarah ke atas mimbar. Seekor anjing berbulu hitam dan bertubuh besar sedang duduk dengan gagahnya di atas sana. Ia melolong-lolong sambil menjulurkan lidahnya dengan air liur yang menetes ke atas lantai.
Aneh sekali. Seketika anjing-anjing lain yang berada di depannya ikut melolong bagaikan suara koor yang sangat panjang. Kami semua bergidik melihat pemandangan yang baru kali ini kami saksikan.
“Meskipun kita usir anjing-anjing itu sekarang, tetap saja kita tidak bisa melakukan shalat di sini. Semua tempat di masjid ini sepertinya sudah najis. Jadi sebaiknya kita shalat sendiri-sendiri saja di rumah. Nanti jam tujuh kita kembali berkumpul. Kita usir anjing-anjing itu dan lalu kita sucikan masjid kita ini bersama-sama.” Ketua takmir memberikan instruksi.
            Rupanya, kabar mengenai serbuan anjing-anjing ke dalam masjid kami sudah menyebar dengan cepat. Saat kami kembali untuk mengusirnya, sudah banyak orang berkerumun di sekitar masjid.
“Sepertinya itu bukan anjing sungguhan.” Sebagian orang mulai berkomentar.
“Jadi menurut kalian itu makhluk jadi-jadian?” sela ketua takmir masjid kami dengan ekspresi wajah setengah tidak percaya.
“Bisa jadi, Pak.”
Kami, para warga yang setiap saat rajin melakukan shalat wajib berjamaah menarik nafas panjang. Sungguh sulit menerima kenyataan kalau masjid yang kami jaga kesuciannya tiba-tiba disatroni gerombolan anjing. Apalagi kalau sampai benar mereka adalah anjing jadi-jadian. Mungkin sebelumnya mereka manusia biasa yang kemudian berubah menjadi anjing. Entahlah.
“Kita harus cari tahu siapa dalang di balik semua ini.”
“Kalian semua tenang dulu,” kata ketua takmir masjid kami. “Tugas kita yang terpenting sekarang adalah mengusir anjing-anjing itu dari dalam masjid.”
“Percuma kita usir anjing-anjing itu kalau ternyata mereka adalah makhluk jadi-jadian. Mereka bisa lebih galak dari anjing sungguhan.”
Akhirnya kami semua kembali pulang. Hingga dua hari berikutnya, tak satupun diantara kami yang benar-benar berani memasuki masjid. Sementara tingkah anjing-anjing itu makin menjadi-jadi. Mereka melolong-lolong dengan suara yang memekakkan telinga siapa saja yang mendengarnya.
Tak hanya itu, anjing-anjing yang menguasai masjid kami makin berulah. Mereka sudah berani berkeliaran hingga ke luar masjid. Bahkan tanpa rasa takut sedikitpun mereka mendatangi rumah-rumah penduduk. Meski tak sampai menggigit, ekspresi wajahnya yang terlihat kaku, sangar dan galak tetap membuat kami merasa ngeri bila berdekatan dengan mereka.
***
            Dan ternyata dugaan kami benar. Anjing itu memang makhluk jadi-jadian. Mereka sebenarnya manusia biasa yang bisa berubah menjadi anjing. Entah apa yang  terjadi dengan mereka dan mengapa mereka menguasai masjid kami dengan merubah diri mereka menjadi makhluk galak seperti itu?
Meskipun sekarang mereka lebih banyak menampakkan diri sebagai manusia biasa, kami tetap tidak bisa bergaul akrab dengan mereka. Namun setidaknya, dengan menampakkan diri sebagai manusia, pelan-pelan kami bisa mendatangi masjid lagi. Melaksanakan ibadah bersama mereka. Mendengarkan semua yang mereka ujarkan pada kami.
Tapi mereka juga masih sering mengeram sambil memelototkan kedua matanya yang merah bila kami melakukan hal yang tidak mereka sukai. Cara mereka menatap kami seakan menampakkan ketidaksenangan. Persis seekor anjing yang selalu curiga saat ada orang asing mendatangi rumah tuannya.
Kami tertekan? Pasti. Tapi kami tak memiliki keberanian untuk melawan keadaan itu.
Walau pada akhirnya kami dapat berhubungan baik dengan mereka, namun tetap ada sesuatu yang terasa hilang dalam diri kami. Kami tak bisa lagi merasakan keindahan berdzikir bersama di masjid itu sebagaimana dulu sering kami lakukan. Kebiasaan kami membaca shalawat perlahan-lahan juga sudah kami tinggalkan.
“Itu tidak perlu. Lebih baik kalian dengarkan saja apa yang kami ajarkan pada kalian,” demikian kata mereka.
Sampai waktu yang kami takutkan itu pun tiba. Apa yang pernah dikatakan oleh ketua takmir masjid kami beberapa waktu lalu sepertinya akan menjadi kenyataan;
“Pelan tapi pasti. Kita semua para warga akan menjadi anjing jadi-jadian seperti mereka.”
Dan memang seperti itulah yang kami rasakan. Tanpa kami sadari, oleh kata-kata mereka kami telah dirubah menjadi manusia bertabiat anjing. Kami jadi gampang curiga, mudah marah dan bisa merasakan adanya naluri kebuasan yang bersemayam dalam otak kami.
Celakanya lagi, kami sepertinya tidak bisa lagi berpikir jernih dan dewasa. Setiap kali melihat ada orang-orang yang berbeda cara pandang dan perbuatannya dengan kami, kami seperti mendengar ada teriakan keras dalam diri kami yang memerintahkan kami untuk menyerang dan mencabik-cabik mereka. Memusnahkan mereka dengan segenap kemarahan dan rasa buas yang aneh. 
 2014.        

0 komentar:

Posting Komentar