Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Problem Seleksi Buku Penerbit Mayor-Indie

Problem Seleksi Buku Penerbit Mayor-Indie

Pabrik
Tulisan Edi AH Iyubenu tentang Dilema Kreativitas dan Bisnis Penerbit Mayor dan Indie (5/10/2014). memang menarik dicermati meski tulisan tersebut berangkat dari satu dua kasus semata.

Dalam arus dunia perbukuan saat ini, memang sulit mengelak dari kenyataan adanya dikotomi penerbit mayor dan penerbit indie. Itu semua adalah keniscayaan dan sekaligus akibat dari berlangsungnya kompetisi industri perbukuan yang begitu panjang. Sebagaimana ada perusahaan besar dan kecil, maka seperti itu pula dalam dunia publishing.

Oleh Edi, penerbit mayor dicirikan salah satunya sebagai penerbit yang menerapkan seleksi ketat atas semua naskah, memiliki jaringan, memiliki kemampuan kapital yang karenanya dapat menanggung semua beban biaya produksi serta membayar royalty bagi penulisnya.

Tapi sebaliknya bagi penerbit indie. Penerbit ini selain dinilai kurang memiliki banyak jaringan, tidak memiliki kekuatan capital memadai sehingga modal produksi dibebankan kepada penulis juga kurang menerapkan seleksi yang ketat atas semua naskah yang mereka terima untuk diterbitkan (paragraf 5 dan15).

Terkait dengan soal ketatnya seleksi atas setiap naskah pada penerbit mayor -hal ini dalam pandangan Edi kurang berlaku bagi penerbit indie- saya jadi bertanya-tanya; seperti apa prosedur penyeleksian naskah yang baik oleh penerbit mayor? Pertimbangan apa yang digunakan dalam proses seleksi naskah sebelum diekskusi untuk diterbitkan? Faktor apa yang diperhatikan dalam proses seleksi itu; tema naskah, penulisan naskah, keotentikan isi naskah yang menjamin tidak adanya pelanggaran kode etik dalam dunia tulis menulis, atau bagaimana?

Memang benar, penerbit mayor memiliki kegagahan kapital yang tak mungkin mampu dilawan oleh penerbit indie. Dengan kekuatan kapitalnya, luasnya jaringan dan pengalaman publishing­-nya yang hebat, penerbit mayor mampu bermain dan berpeluang eksis di arena pasar perbukuan. 

Lalu, apakah kita akan mengatakan bahwa setiap naskah yang diterbitkan penerbit mayor merupakan naskah yang baik karena melalui seleksi yang sangat ketat? Apakah kita akan mengatakan bahwa semua buku yang diterbitkan penerbit mayor lahir dari tangan penulis yang sudah memiliki pengalaman dan telah menjalani proses panjang dan berdarah-darah?

Ehm, tunggu dulu. Bila tidak ada kepastian mengenai faktor apa saja yang diperhatikan penerbit mayor dalam menyeleksi semua naskah yang masuk, maka kita tidak bisa mengatakan bahwa penerbit indie tidak memiliki sistem seleksi yang ketat sebagaimana penerbit mayor. Sebab bisa jadi kebijakan yang digunakan penerbit mayor dan indie dalam proses seleksi itu sangatlah berbeda.

Kita bisa buat contoh begini. Ada sebuah buku yang diterbitkan oleh penerbit indie. Dilihat dari tema, penyajian dan keotentikan isinya, buku tersebut sudah sempurna berdasarkan kode etik kepenulisan. Pada saat yang bersamaan, ada sebuah buku yang diterbitkan penerbit mayor. Dari segi tema dan penyajian, buku ini memenuhi standar. Tapi tidak dengan keotentikan sumber informasi yang dijadikan rujukan oleh penulisnya. Katakanlah ada unsur pelanggaran kode etik di dalamnya yang tak terseleksi dengan baik karena terlalu tergesa mengejar momentum terbit yang dinilai akan sangat menguntungkan. Kejadian seperti ini sangat mungkin terjadi, bukan?

Dari contoh tersebut, lalu penerbit mana sebenarnya yang paling berhasil menerapkan seleksi yang baik atas naskah yang diterbitkan itu? Indie atau mayorkah? Memang ini sangatlah idealis karena tidak hanya berbicara soal hukum industri yang meniscayakan untung rugi, namun juga berbicara soal kualitas naskah dari aspek penyeleksiannya. Tetapi hal itu setidaknya menyadarkan kita bahwa tidak semua penerbit indie bersikap kurang selektif atas naskah sebagaimana tidak semua produk buku indie bernilai rendah. Edi sendiri mengakui ini.

Sementara itu, tanggapan Abdul Waid atas tulisan Edi AH Iyubenu (12/10/2014) yang mengatakan bahwa banyaknya naskah berkualitas yang ditolak penerbit mayor karena tidak sesuai dengan selera pasar hingga menyebabkan para penulisnya melirik penerbit indie juga merupakan statemen yang terlalu gegabah  (paragraf 8).

Buktinya, tidak sedikit buku berkualitas yang hingga saat ini masih diterbitkan penerbit mayor. Dan sebaliknya, tidak banyak juga buku berkualitas yang diterbitkan penerbit indie. Tergantung penerbit apa yang dijadikan acuan oleh saudara. Ada beberapa pertanyaan mendasar yang harus direnungkan baik-baik oleh saudara Abdul Waid; seperti apa buku berkualitas itu? Alat ukur apa yang digunakan untuk menilai sebuah buku hingga disebut berkualitas atau tidak? Siapa yang berhak menentukan bahwa sebuah buku dinilai berkualitas; penulisnya, penerbitnya, atau masyarakat pembacanya?

Dunia publishing memang dunia industri. Untung rugilah yang berbicara disana. Namun menafikan idealisme, intelektualisme dan kode etik jurnalisme dalam menerbitkan sebuah buku, tak peduli penerbit mayor atau indie, tentu sangatlah disayangkan. Karena itu, sejauh kita bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan proporsional maka pembicaraan mengenai dikotomi penerbit mayor-indie menjadi hal yang tak lagi penting. Rakh!

0 komentar:

Posting Komentar