Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Peret Kandung

Peret Kandung

http://i1345.photobucket.com/albums/p673/humorbendol/ibu_hamil_zps5fceedee.jpg
Arnami, inilah saat yang pernah aku tunggu-tunggu. Melihatmu dalam balutan baju harian sedang duduk khusyuk menghadap ke arah barat. Menjalani sebuah upacara yang konon oleh ayah, ibu, kakek, dan nenekmu dianggap begitu sakral dan mulia. Mungkin karena kesakralannya itulah, sampai-sampai mereka tak pernah menemukan kata selesai membicarakannya. Hampir setiap malam. Saat kita semua berkumpul di teras depan.

            “Pokoknya, upacara ini harus dilakukan. Harus. ”

            Begitulah ucap nenek dengan penuh keyakinan. Aku hanya diam pasrah. Menerima keinginannya yang tak mungkin lagi bisa dibantah. Lagi pula, katamu, tak ada salahnya memberi kesempatan pada orangtua kita itu untuk mengungkapkan kebahagiaan mereka tentangmu. Juga tentang janin yang sekarang bersarang dalam rahimmu.

            “Kau tak perlu khawatir soal biaya, Badri,” hibur kakekmu juga waktu itu.

            Ya, inilah alasan sebenarnya, kenapa diawal-awal aku pernah menolak rencana mereka. Kau tahu kan, untuk upacara semacam ini banyak hal yang mesti harus kita beli. Dan aku pikir saat itu, akan lebih baik jika tabunganku yang tidak seberapa digunakan untuk biaya persalinanmu. Menyambut bayi kita yang pasti lucu. Seperti kamu.

            “Pakdemu akan nyumbang dua ayam putih untuk Rebba. Sementara beras, telur dan bumbu dapur lainnya ditanggung oleh bibinya Arnami.”

            Aku tertegun. Ada rasa malu yang menyelinap dan seketika perasaan itu terbaca juga oleh nenekmu.      

“Tak apa-apa, Badri. Tak perlu sungkan menerima pemberian orang. Itu sudah rejeki anakmu. Nah, kalau aku, kakekmu, bapak dan ibunya Arnami, akan menanggung semua sisa biaya upacara ini. Alhamdulillah kami ada sedikit rejeki.”

Terus terang, Arnami, meski ada perasaan malu, tapi aku juga tak bisa menyembunyikan secuil kebahagiaan yang tiba-tiba ikut lebur dalam kegembiraan yang membuncahi wajah-wajah mereka, orangtua kita. Namun sayang, ibu dan bapakku sendiri tak mungkin datang, ikut merayakan upacara yang sudah lama ditunggu-tunggu keluarga besarmu ini. Atau mungkin saja sebaliknya. Mereka datang, namun kita sendiri tidak merasakan.

Tapi sudahlah. Lebih baik berdoalah untuk kebahagiaan mereka di alam sana. Sekarang yang terpenting adalah dirimu dan calon bayi kita yang makin bertumbuh dan tak lama lagi akan lahir melengkapi hidupmu.

Sekarang dapat kurasakan, Arnami, kebahagiaan yang juga memendar-mendar di raut wajahmu. Binar kedua matamu seperti menyorotkan satu harapan yang sangat besar. Harapan yang barangkali selalu engkau sematkan pada janin kita, bersama lantunan doa-doa panjangmu di setiap malam yang dingin. Sepi.

Dan aku tak ragu lagi untuk mengakui, betapa aku teramat bahagia karena telah memutuskan untuk memilihmu dan menjadikanmu sebagai tempat peraduan paling tepat untuk anak-anakku. Penerus riwayat hidupku. Aku pun yakin engkau pasti berpikir sama sepertiku.

Bukankah begitu, sayang?

Ah, kenapa aku jadi melankolis begini? Tapi biarlah. Mungkin ini adalah akibat dari kebahagiaan yang tak bisa lebih lama lagi kusimpan-simpan.

“Selain itu, anggap saja ini tanda syukur kamu pada Yang Maha Kuasa. Kau sudah menunggu kehamilan istrimu ini begitu lama, kan. Lima tahun itu bukan waktu yang sebentar, Badri. Sudahlah, kita tetap adakan upacara Pérét Kandung ini,” kata nenekmu meyakinkan.

Aku pun hanya bisa mengangguk. Tak bisa lagi menolak.

Dan akhirnya, seperti sekarang inilah yang aku rasakan, Arnami. Kebahagiaan dan keharuan yang teramat mendalam. Mungkinkah perasaan ini merupakan wujud nyata dari kesakralan upacara Pérét Kandung-mu? Entahlah. Aku hanya bisa menghayatinya. Perlahan-lahan.

//

Saat Nyi Asromo, calon dukun persalinanmu kelak, mulai menutupkan kain putih dari atas kepala hingga pundakmu, aku merasakan aura kesucianmu. Engkau seperti diselubungi oleh semacam kebeningan yang kudus. Engkau terlihat bersih. Putih. Suci.

Aku jadi ingat yang dikatakan ayahmu di suatu malam dulu, “Saat Pérét Kandung, si calon ibu akan ditutupi kain putih. Itu pertanda wanita hamil itu mulia, bersih, suci. Seperti kain putih yang menutupinya.”

Ya, perlahan aku mulai percaya akan kata-kata ayahmu. Arnami, betapa beruntungnya dirimu menjadi seorang wanita mengandung yang sekarang sedang menjalani upacara Pérét Kandung. Engkau dimuliakan, disucikan. Dan kain putih itu seperti menyiratkan sebuah pesan berarti bahwa engkau memang pantas diperlakukan demikian. Atau mungkin itukah sebabnya, Arnami, kenapa Nabi menjamin pahala syahid bagi wanita yang ditakdir tiada saat berjuang melahirkan buah hatinya. Ya, mungkin karena mereka suci, mulia. Seperti yang aku lihat sekarang pada dirimu yang berselubung kain putih itu. Aku rasa, ini benar-benar sakral, Arnami.

Lalu bagaimana dengan pendapatmu? Apa yang kamu rasakan?

Lihat, perlahan Nyi Asromo mulai mengangkat gayung. Gayung yang terbuat dari batok kelapa yang isinya dibiarkan utuh. Putih. Aih, putih lagi. Aku rasa ini seperti sebuah penegasan bahwa wanita mengandung sepertimu memang benar-benar mulia dan pantas disucikan.

Adakah makna lain selain itu, Arnami? Aku ingat lagi apa yang dikatakan nenek saat menyambung perkataan ayahmu malam itu, “Harus pake gayung dari kelapa. Biarkan isinya tetap utuh. Kau tahu, Badri, itu mengandung harapan agar janinmu tumbuh laksana pohon kelapa. Lurus dan kukuh. Semoga anakmupun kelak lurus dan kukuh pendirian sehingga menjadi orang yang suci, bersih, putih hatinya seperti daging kelapa.”

“Selain itu, Badri,” kata kakek menimpali, “gagang gayung itu harus dibuat dari ranting pohon beringin sebesar ibu jari dan panjangnya kira-kira selengan. Ya, selengan. Tapi daun-daunnya tidak boleh dicabut. Itu juga mengandung harapan agar anakmu kelak jadi manusia yang bisa melindungi banyak orang. Seperti pohon beringin itu. Bisa membuat teduh orang yang kepanasan.”

Terus terang, Arnami, aku tak bisa lagi menahan kegembiraan yang terasa makin lengkap. Satu lagi aku merasakan kesakralan dari upacara Pérét Kandungmu ini. Aduh, betapa senangnya janin kita itu, ya. Dia seperti tak putus-putus menerima anugerah berupa harapan-harapan yang baik. Bukan hanya dari kita dan keluarga kita. Tapi dari benda-benda yang sepintas lalu seperti tak mengandung makna apa-apa.

Aku bahagia, Arnami. Bahkan teramat bahagia. Lalu bagaimana denganmu? Aku yakin kau pun tak kalah bahagianya. Iya, kan?

Tapi tunggu. Kenapa sedari tadi kau hanya diam saja, Arnami. Menundukkan kepala seperti sedang menyimpan suatu duka? Ah, mungkin kau tak ingin terlalu mengungkapkan kebahagiaanmu secara berlebihan. Aku tahu itu. Kau memang pendiam. Tak apa, Arnami. Itu memang sifatmu. Aku memaklumi.

Perlahan, Nyi Asromo mencidukkan gayung dari batok kelapa itu ke dalam Kelmo’ yang berisi air penuh bunga. Bunga tujuh rupa yang dibeli dari tujuh tempat yang tak sama. “Langit lapis tujuh, Badri. Bumi juga lapis tujuh. Anakmu harus mandi air bunga tujuh rupa dengan air dari tujuh sumur yang berbeda. Itu semua agar keelokan, kesejukan dan keharuman budi anakmu kelak menyebar ke seluruh semesta.” Aku hanya bisa geleng-geleng kepala, Arnami, saat nenekmu menafsir sedemikian rupa.

Arnami, aku lihat tangan Nyi Asromo gemetaran saat dia mengangkat gayung penuh air bunga itu dari dalam Kelmo’. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Tapi sesaat kemudian, kedua mata perempuan tua itu rapat terpejam. Bibirnya bergerak-gerak seperti sedang merapal suatu mantera. Begitu magis kurasa. Dia terlihat seperti seorang resi yang sedang memasuki kesunyatan alam nirwana. Kupikir ini lebih dari sekadar sakral, Arnami. Ya, lebih dari sekadar sakral.

Kau seakan tersentak saat Nyi Asromo menyiramkan air bunga ke atas tubuhmu yang berbalut kain putih itu. Apakah air itu terasa lebih dingin dari air yang ada di kamar mandi kita, Arnami? Mungkin begitu. Tapi jangan lupa, seperti perintah nenekmu, elus-eluslah perutmu saat air bunga tujuh rupa itu mulai membasahi tubuhmu, membasahi perutmu.

Jangan lupa pula untuk berkata kepada janin kita, “Sejuklah. Sejuklah seperti sejuknya air sumur. Sejukkan hati orangtuamu. Sejukkan hati sesama manusia.” Ya, bukankah seperti itu yang diajarkan nenekmu dulu? Aku yakin kau masih mengingatnya, Arnami.

//

Lihat juga itu, Arnami. Ternyata bukan hanya Nyi Asromo yang memandikanmu dengan air bunga tujuh rupa itu. Melainkan semua. Semua saudara dan tetangga kita yang ikut hadir menyaksikan upacara Pérét Kandung-mu, mereka semua turut pula memandaikanmu. Aku lihat betapa gembiranya wajah mereka.

            Lidahku tiba-tiba kelu menyaksikan semua itu. Tak ada ungkapan apapun yang bisa kuucapkan untuk menyatakan kebahagiaanku yang berlapis-lapis. Mungkin sampai lapis tujuh. Sekarang, aku juga merasakan tentang dirimu yang utuh, Arnami. Engkau bukan lagi sosok wanita yang menjadi istriku, calon ibu anakku, seorang perempuan yang sedang mengandung. Bukan. Kau sudah melampaui semua itu. Kau utuh, dan karena keutuhanmu itulah kau diperlakukan dengan begitu hormatnya.

            Seandainya bukan karena keutuhanmu, Arnami, tak mungkin mereka dengan bangga akan berebut gayung batok kelapa untuk bisa memandikanmu. Menyirami tubuhmu dengan bunga tujuh rupa.

            “Jika bunga yang berhasil kuciduk kebayakan mawar, berarti anakmu perempuan, Arnami,” seru mereka.

            “Haa...tapi lihat, yang banyak kau dapatkan malah bunga melati. Berarti anakmu laki-laki,” timpal yang lain.

            “Siur....siur....siuuurrr,” teriak mereka sambil tertawa-tawa.

            Lelaki atau perempuan, bagiku sama saja. Tapi dulu kau pernah bilang kalau kau ingin anak pertamamu yang lahir itu laki-laki. “Anak laki-laki bisa diandalkan,” ucapmu memberi alasan. Aku hanya tersenyum tanpa komentar.

//

Hampir semua orang yang hadir sudah sama-sama memperoleh bagiannya memandikanmu, Arnami. Dan wajahmu terlihat pucat. Bibirmu gemetar. Kau tampak seperti kedinginan. Namun senyummu yang tiba-tiba mengembang dan hangat itu seperti hendak menyampaikan rasa terima kasihmu pada mereka.

            “Mana Nyiur Gaddhing. Bawa kemari,” pinta Nyi Asromo saat melepas kain putih yang menyelubungi tubuhmu. Kakek yang sedari tadi memegang kelapa berwarna kuning itu langsung mendekat dan menyerahkannya pada perempuan tua itu.

            Aku lihat Nyi Asromo kembali memejamkan kedua matanya. Bibirnya juga bergerak-gerak. Membaca doa, mantera atau entah apa. Kelapa berwarna kuning keemasan itu dielus-elusnya seperti seorang ibu sedang mengelus kepala bayi. Setelah selesai, dia lalu menancapkan biting lidi yang pada ujung atasnya sudah ditancapi bunga kantil yang berwarna kuning semerbak. Awalnya aku tak mengerti, Arnami, arti semua itu, seandainya tidak kuingat lagi apa yang pernah dikatakan nenek padamu.

            “Nanti sehabis kamu mandi, Nyai dukun akan menyerahkan Nyiur Gaddhing yang sudah ditancapi bunga kantil. Ingat, kamu terima kelapa kuning itu dengan hati-hati, ya. Lalu gendong seperti halnya seorang ibu menggendong bayi.”

            “Ya, benar,” timpal kakek, “tapi awas lho. Jangan sampai.....”

            “Huss, jangan dilanjutkan,” potong nenek dengan raut wajah seperti orang sedang ketakutan.

            Aku penasaran waktu itu, Arnami. Apa sebenarnya yang ingin dikatakan kakek dan kenapa nenek justru melarang dia melanjutkan ucapannya. Namun sekarang aku baru mengetahuinya. Ya, saat Nyi Asromo berbisik di telinga kananmu.

            “Gendong Nyiur Gaddhing ini dengan hati-hati, ya, Nak. Bunga kantil ini juga harus tetap menghadap ke atas, jangan sampai berubah arah agar posisi janinmu juga tidak berubah. Ya, seperti itu. Benar...benar. Nah, sekarang jalan ke kamarmu dengan hati-hati. Jangan sampai kelapa ini terjatuh. Nanti bisa-bisa kamu keguguran dan janinmu tak bisa tertolong.”

            Aku tersentak mendengar perkataan Nyi Asromo itu, Arnami. Dan kaupun terlihat seperti orang yang gugup. Tapi aku rasa, tak ada salahnya kau ikuti saja perintah calon dukun persalinanmu itu. Ini demi keselamatanmu. Demi calon buah cinta kita yang sudah kita tunggu sekian lama.

            Tak terasa, aku senyum-senyum sendiri saat melihatmu melangkah sambil menggendong kelapa kuning itu, Arnami. Kau benar-benar terlihat pantas menjadi seorang ibu. Caramu menggendong buah kelapa itu sudah tidak menampakkan rasa canggung sama sekali. Sama seperti para ibu yang menggendong bayinya.

Saat kau melangkah meninggalkan halaman menuju kamar, Arnami, sanak saudara dan keluarga besar kita ikut berjalan mengiringi di belakangmu. Dengan tubuh basah tertutup pakaian yang kau gunakan saat mandi tadi, juga sisa-sisa bunga yang menempel di rambutmu, kau seperti seorang puteri raja yang baru saja dimandikan oleh para inang pengasuhnya.

Apa kau tidak merasakan itu, Arnami? Bagiku, ini benar-benar luar biasa. Aku bahkan sempat berpikir, tak ada satupun tempat di dunia ini yang memperlakukan wanita mengandung sepertimu dengan perlakuan begitu mulia seperti ini. Aku yakin tak ada, Arnami. Hanya di sini. Ya, hanya di sini. Di negeri ini.

Coba kau perhatikan. Kau berjalan ke kamar, menggendong Nyiur Gaddhing berwarna kuning keemasan, sambil diiringi oleh sanak familimu. Kau benar-benar seperti tuan puteri yang diiringi oleh para dayangnya.

Sesampainya di dalam kamar, dengan dibimbing oleh Nyi Asromo yang ramah dan penyabar, kau diminta meletakkan Nyiur Gaddhing itu di atas kasur. Persis di samping nampan besar yang berisi Jhajan Ghenna’, Dhemar Kambhang, beras dan telur mentah, juga sepotong bajumu dan bajuku.

“Letakkan Nyiur Gaddhing itu pelan-pelan, Nak. Bayangkan kau seperti sedang meletakkan bayi untuk ditidurkan. Ya...seperti itu. Sekarang, elus-eluslah dan ucapkan dalam hati semua harapanmu pada bayi yang ada di dalam perutmu itu.”

Kali ini, aku saksikan semua yang kau lakukan, Arnami. Kau pejamkan kedua matamu. Begitu khusyuk rupanya kau mengucapkan harapan-harapanmu pada bayi kita yang makin membesar di dalam rahimmu itu. Sematkanlah pada bayi kita semua harapan-harapan baikmu, istriku. Semuanya. Jangan ada yang tersisa.

Tiba-tiba, aku merasakan waktu mendadak hening. Semua sanak familimu yang ikut masuk ke dalam kamar kita itu pun jadi terdiam. Raut wajahmu, juga seketika menjadi murung. Perlahan-lahan, tubuhmu bergetar bersama tangismu yang pecah mengabarkan keharuan pada seisi kamar.

“Andai saja,” katamu dengan suara tertahan, “Andai saja, Mas Badri masih hidup....”

          

Madura, 24 Oktober 2013.

Cerpen ini terpilih sebagai juara ke-2 dalam lomba Tulis Nusantara Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia 2013

0 komentar:

Posting Komentar