Diberdayakan oleh Blogger.
Home » » Tenong

Tenong

http://202.67.224.136/pdimage/14/5341914_p1290982.jpg
Malam demi malam bagai hanya serpihan kesedihan. Dan semua itu bersijingkat dengan bulir-bulir air mata yang terus menghujan. Mengguyur sudut-sudut relung hati Munah yang selalu terjerumus dalam ketidakpastian. Yah, ketidakpastian yang runcing, yang siap menusuk bahkan merobek kebahagiaan yang selama ini masih terasa sebatas impian.
 
“Malam ini Kakakmu, Musahru, bakal lalamaran. Sebagai adiknya, kau harus pergi ke sana. Lekaslah berkemas, Munah. Sebelum hari terlalu malam.”
 
Munah yang kering kurus itu hanya melenguh. Seperti lenguhan kerbau yang terlunta-lunta di hamparan sawah-sawah kering tiada lumpur dan rumputan. Oh, tidak. Dia melenguh bukan karena tak taat suami. Dua puluh lima tahun yang lalu, saat Rahwan membawanya ke hadapan penghulu, tak satupun lenguhan ia keluarkan dari bibirnya yang kering dan hitam. Lahir batin ia mengikrarkan diri untuk hanya bersetia kepada suaminya. Yang kini menganugerahkan dua puteri dengan tiga orang putera sesudahnya.
 
Hanya saja untuk malam ini, atau bahkan mungkin untuk malam-malam berikutnya, Munah merasa perlu untuk melenguh. Bukan sekadar mengeluh. Keluhan itu dalam hati tempatnya. Sedang hatinya sudah terlalu keropos untuk menampung keluhan demi keluhan yang datang bertubi dan hanya bisa ia simpan rapat dalam hati. Itu sebabnya ia butuh melenguh agar suaminya benar-benar mengerti kalau dirinya sedang terperangkap jaring-jaring kegundahan.
 
“Sedari tadi kau hanya diam, Munah. Bicaralah. Kau punya mulut, bukan?”
 
Dari luar, kesiur angin menampar dinding gubuk berlapis koran. Dingin yang menelusup diantara celah-celahnya sampai juga di wajah tirus Munah. Bagi Munah,  elusan dingin angin itu tak ubahnya usapan tangan-tangan kesedihan yang makin menguliti nganga duka yang terlalu pongah untuk hengkang dari hatinya.
 
Di bawah cahaya lampu neon yang redup, Munah menatap Rahwan. Sebuah tatapan yang dipaksakan untuk memastikan bahwa ia masih sanggup melihat dan mendengar perintah suaminya. Hanya mendengar. Tak lebih. Sebab untuk menjawab dan mengatakan apa yang dia alami, rasanya masih terlalu sulit dan berat.
 
Kelima anaknya sudah terlelap. Mungkin terlalu lelah untuk ikut merasakan gondola kesedihan yang menindih hari-hari mereka. Dan untuk kedua kalinya, Munah kembali melenguh. Hmmm... Berharap Rahwan akan bertanya mengapa ia berbuat begitu. Tetapi seperti yang sudah ia duga, lelaki itu seakan memang dicipta untuk hanya menjalani dua tugas saja. Memberinya perintah dan membuntinginya. Selebihnya, diam.
 
Rahwan yang dahulu perkasa, yang dia impikan sanggup merubah hidupnya menjadi bahagia, ternyata tidak lebih dari lelaki pesakitan yang menghabiskan hari-harinya dalam balutan khayal yang kosong. Setiap hari, ia bergumul dengan angka-angka. Mengotak-atiknya menjadi rumus-rumus yang tak pernah berhasil memecahkan masalah apapun dalam keluarganya.
 
Munah melihat ke luar rumah. Dan malam semakin pekat. Ia yakin kalau kakaknya pasti akan bertanya-tanya mengapa sampai selarut ini dia tak juga muncul. Setidaknya datang untuk memberikan ucapan selamat atas puteri kakaknya yang sudah mendapatkan calon pendamping. Tentu. Tentu kakaknya sudah sangat matang mempertimbangkan lelaki macam apa yang pantas mendampingi keponakannya itu.
 
Maka seketika, terkuaklah lembar-lembar masa lalunya. Masa-masa dimana Musahru dengan begitu keras melarangnya berhubungan dengan Rahwan. Tetapi rasa cintanya kepada pemuda itu sudah terlalu mengakar kuat dan dalam. Melampaui segala kekhawatiran yang dirasakan oleh kakaknya. Yang disadari Munah ketika itu adalah ia sudah terlanjur mencintai Rahwan sebagaimana juga Rahwan mencintai dirinya. Dan Munah percaya, bahwa cinta adalah kekuatan terbesar yang dapat menjadikan seseorang sanggup bertahan. Yah, dulu dirinya begitu bangga dengan cintanya. Dengan kekokohan perasaannya, meski saat ini bangunan cinta itu perlahan pudar. Berguguran bersama bulir-bulir air mata kesedihannya.
 
“Munah. Ingat. Cuma orang bodoh yang mempercayakan kelangsungan dan kebahagiaan hidupnya pada kata cinta saja. Dan aku percaya kau tidak terlalu bodoh untuk berbuat seperti itu. Pikirkanlah, Munah. Aku tahu siapa itu Rahwan. Dan aku lebih tahu apa yang terbaik buatmu sebagai adikku,” kata-kata Musahru kembali terngiang.
 
Angin malam terus menderu. Menggempur dinding gubuk berlapis koran yang using itu. Untuk kedua kalinya Munah menatap kelima wajah anaknya yang terlelap. Lalu berganti menatap Rahwan yang terus sibuk mengotak-atik angka, merenungkannya meski tak pernah sampai pada kesimpulan yang nyata.
 
Di bawah sorot lampu yang rasanya makin temaram, Munah teringat kembali akan almarhum Eppak-Embuk-nya. Dua sosok yang tak berdaya saat ia meminta mereka untuk menerima Rahwan menjadi suaminya. Andai saja dulu ia mau sedikit mendengar nasehat kakaknya. Andai saja waktu itu ia mematuhi petuah kedua orangtuanya, mungkin ia akan selamat dari rumitnya hidup yang tak disangka.
 
Tetapi tidak. Ini bukan waktu yang tepat untuk mengeluh. Keluhan hanya akan memperpanjang penderitaan. Dan tak diragukan lagi, orang yang telah membuatnya menderita selama ini adalah suaminya sendiri. Rahwan. Dialah lelaki yang sudah mengubur mimpi kebahagiaannya hingga yang tersisa hanyalah tangis ratap kesedihan.
 
“Dasar perempuan laknat. Tak menggubris perintah suami. Tahukah kau, Munah. Istri sepertimu bakal hangus tergerus api neraka. Buktikan saja ucapanku nanti. Dan ingat, jangan salahkan aku kalau Kak Musahru murka karena kau tak datang ke acaranya. Aku sudah menyuruhmu. Berkali-kali. Dan kau hanya diam saja sedari tadi.”
 
Ini kata-kata ancaman yang kesekian kalinya Munah dengar. Awalnya ia merasa ngeri dan khawatir bila harus membayangkan kulitnya akan meleleh bagai lilin saat api neraka datang menyerang. Tetapi ia sudah terlalu sering menjalani hidup di bawah ancaman, di bawah gertakan, juga rasa sakit yang tak tertanggungkan. Karena itu, Munah merasa kalau dirinya sekarang ini bukan lagi Munah seperti dua puluh lima tahun yang lalu. Saat ini, yang ia takuti bukan lagi gertakan Rahwan. Tetapi raibnya Tenong yang selama dua puluh lima tahun ia jaga dengan penuh kesetiaan.
 
“Kak Musahru akan lebih murka lagi jika aku datang tak membawa Tenong itu.”
 
“Bahh! Apa gunanya kamu ungkit-ungkit masalah Tenong itu lagi, hah. Tenong itu masa lalu. Dan aku sangat membencinya.”
 
“Kamu bukan membencinya, Mas. Tapi kamu membutuhkannya dan sekarang kamu telah menghabiskannya. Kamu telah menjualnya. Itu satu-satunya warisan berharga untuk aku.”
 
Rahwan menatap tajam ke arah Munah. Sebuah tatapan ketersindiran. Sementara Munah pun melakukan hal serupa. Bagi Munah, yang harus ia lakukan sekarang ini adalah keberanian untuk tegak mendongak. Biar dengan begitu Rahwan jadi tahu bahwa ia bukan lagi perempuan yang mudah ditundukkan seperti dulu-dulu.
 
“Ahaa. Luar biasa. Kau mempersoalkan Tenong itu lagi rupanya. Ternyata benda itu begitu berharganya buatmu. Ahh, ini pertanda bagus. Akan aku lihat, berapa angka untuk benda terkutuk itu. Kali ini aku pasti akan berhasil. Kau tenang saja, Munah. Tenong itu akan kubeli lagi. Tenang saja. Malam ini aku pasti akan menang, dapat banyak uang. Asal kau tahu, mungkin Tenong-mu itu tak bakal muat menampung uang-uang yang akan aku dapatkan.”
 
Sambil terkekeh-kekeh, Rahwan membuka kembali buku kecil tebal yang penuh dengan gambar dan angka-angka yang sedari tadi tergeletak di depannya. Munah tahu, buku terkutuk itulah yang selama ini telah memikat perhatian suaminya sehingga ia lebih senang bergulat dengan alam khayal daripada menyaksikan keadaan keluarganya. Dan buku itu pula yang membuat lelaki itu sibuk mencipta rumus-rumus kosong yang semakin menyorongnya ke dalam kegelapan. Deretan angka telah banyak dia tuliskan. Namun sama sekali tak mampu merangkum jumlah kesedihan yang makin menyengsarakan. Angka yang penuh teka-teki itu, bagai pusaran kegelapan yang menjadikan kebahagiaan hidupnya raib bersama benda-benda berharga di rumahnya. Termasuk Tenong itu.
 
“Padahal itu satu-satunya peninggalan Embuk. Sebelum meninggal, dia pernah memintaku agar tidak menjual benda itu. Tapi apa yang sudah kamu lakukan, Mas? Kamu telah menjualnya tanpa sepengetahuanku. Kamu telah menggunakan uang hasil menjual Tenong itu untuk memburu angka-angka sialan itu.”
 
“Eh, jangan banyak mulut. Lihat, sudah aku dapatkan angkanya. Sudahlah, kalau kamu memang tidak mau pergi ke rumah Kak Musahru, sebaiknya kamu tenang saja disini. Tunggu rumah. Jaga anak-anak. Aku mau keluar sebentar.”
 
Munah hanya bisa memandangi kepergian Rahwan dengan dada yang bergemuruh. Ia marah. Pasti. Sebab perempuan mana yang sanggup hidup dengan lelaki yang hanya bisa memberinya perintah dan amarah. Malam terus beranjak. Angin yang dingin leluasa masuk lewat pintu rumah yang dibiarkan Munah tetap terbuka begitu saja. Sendirian Munah tercenung. Ingin sebenarnya ia datang ke acara lalamaran puteri Kakaknya. Tetapi ia tak mungkin melakukan itu. Tak mungkin ia datang dengan tangan kosong, tanpa membawa Tenong dan segala macam isinya sebagai persembahan.
 
Biarpun Musahru adalah kakak kandungnya sendiri, namun sudah menjadi hal yang tak boleh dilanggar, bahwa setiap yang datang pada sebuah hajatan harus membawa sesuatu sebagai pemberian. Tapi apa yang bisa ia bawa malam ini? Tak ada. Dan ia tak mungkin memaksakan diri untuk datang tanpa menyunggi Tenong kalau tidak ingin menerima cibiran sinis orang-orang.
 
Munah menatap ke dalam lemari, tempat semula Tenong itu tersembunyi. Kosong. Yang tersisa hanyalah tumpukan kertas penuh angka sialan ciptaan suaminya. Bersusun-susun menjadi semacam kitab paling durjana. Perlahan Munah bangkit. Mendekati lemari. Merogoh tumpukan kertas dengan tangan gemetar.
 
Diliputi pikiran yang kalut, ia bawa kertas-kertas itu ke dapur.
 
Tepat di depan tungku yang masih menyisakan sedikit keredip api bara di dalamnya, satu persatu kertas itu ia masukkan. Apipun terpercik dengan perlahan. Lalu kertas demi kertas berikutnya menyusul, menambah kobaran api yang terus mengunggun. Lidah api yang merah, menyambar-nyambar tak tentu arah. Bersamaan dengan datangnya angin yang menderu, lidah api itu bergerak ke satu arah tertentu. Ya, tak salah lagi. Dinding dapur berlapis koran usang itu pun menjadi sasaran empuk lidah api yang mengamuk. Perlahan, namun pasti, tubuh api makin membesar. Terus membesar. Membubung dan terus membubung. Malam lengang. Sementara semua orang di rumah Musahru, sedang asyik menikmati hiburan kerawitan.
 
Munah terpaku di depan api yang begitu cepat membubung. Sempat terlintas untuk berteriak. Minta pertolongan. Tapi percuma saja ia kira. Bukankah selama ini ia kerap sekali melakukan itu. Namun teriakannya hanya membawa pada kebuntuan demi kebuntuan. Setenang mungkin Munah mendekati kelima anaknya. Ditatapnya anak-anak yang terlelap itu. Begitu tenang. Tak terusik keadaan. Munah tersenyum. Ia merasa bahwa dirinya telah berhasil menjadikan mereka berlima sebagai manusia-manusia tanpa ketakutan. Sama seperti dirinya malam ini. Perlahan, Munah ikut rebah di antara mereka. Memeluk erat tubuh mereka, sebelum akhirnya lidah api yang menggunung membuat mereka sempurna jadi terkepung.
 
Dari kejauhan, pada waktu yang hampir bersamaan, Rahwan datang dengan hati girang. Bersama empat orang kawannya, ia datang menjinjing Tenong. Seperti yang sudah ia janjikan, Tenong itu pasti akan bisa dibelinya kembali. Angka Tenong yang dibelinya pada seorang bandar benar-benar memberinya kemenangan. Semula, Rahwan mengajak keempat temannya untuk sekadar berpesta di rumahnya yang sederhana. Tapi..
 
“Heh. Ada kebakaran. Tapi... bukankah itu rumahmu?” kata seorang temannya. Rahwan yang terkejut segera saja lari melompat meski usahanya sudah jelas sangat terlambat. Di depan unggun api yang menggulung rumahnya, Rahwan terngungun. Tubuhnya gemetar. Tak dijumpainya Munah dan kelima anaknya di sekitaran. Bahkan tak seorangpun tetangganya yang tampak datang untuk menolong. Tak butuh waktu lama bagi si lidah api untuk melalap habis rumah kecil dengan dinding bambu berlapis koran usang itu. Dan dalam hitungan detik, nyala api itupun mulai mengecil, namun masih sanggup menerangi enam sosok hitam kaku yang berpeluk erat dalam balutan bara yang masih mengepul. Rahwan limbung. Tenong di tangannya jatuh melayang.
 
Percayalah, Tenong itu memang tak akan bisa menampung uang yang Rahwan menangkan. Melainkan sebagai wadah mengemasi sisa abu jasad Munah dan kelima anaknya yang terlambat untuk ditolong.

Cerpen ini dipublikasikan di Majalah Arena 2014.

0 komentar:

Posting Komentar